Senin, 07 September 2009

Andrea Hirata


Andrea Hirata




Andrea Hirata Seman Said Harun (lahir 24 Oktober) adalah seorang penulis Indonesia yang berasal dari pulau Belitong, propinsi Bangka Belitung. Novel pertamanya adalah novel Laskar Pelangi yang merupakan buku pertama dari tetralogi novelnya, yaitu :

  1. Laskar Pelangi
  2. Sang Pemimpi
  3. Edensor
  4. Maryamah Karpov

Laskar Pelangi termasuk novel yang ada di jajaran best seller untuk tahun 2006 - 2007.

Meskipun studi mayor yang diambil Andrea adalah ekonomi, ia amat menggemari sains--fisika, kimia, biologi, astronomi--dan tentu saja sastra. Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi dan backpacker. Sedang mengejar mimpinya yang lain untuk tinggal di Kye Gompa, desa tertinggi di dunia, di Himalaya.

Andrea berpendidikan ekonomi di Universitas Indonesia, mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan ia lulus cum laude. Tesis itu telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi Ilmiah. Saat ini Andrea tinggal di Bandung dan masih bekerja di kantor pusat PT Telkom.

Ia adalah Ikal dalam buku Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Kecintaannya pada Pulau Belitung atau Belitong, bangsa pujangga menebalkan tekadnya untuk tetap eksis di dunia perbukuan. Kini pria berusia 33 tahun tersebut, tengah sibuk menulis dua novel, yang merupakan tetralogi dari dua novel sebelumnya.

==============================

Namanya melambung lewat buku perdananya, Laskar Pelangi. Andrea Hirata Seman, demikian nama pria yang meraih gelar sarjana ekonominya dari Universitas Indonesia dan S2 dari Sheffield Hallam University, Inggris ini, tidak pernah menduga akan menjadi terkenal dan menjadi pembicaraan orang terutama di komunitas perbukuan. Padahal, menurut Andrea, ia menulis buku itu hanya sekedar mencurahkan isi hatinya tentang perjuangan gurunya semasa ia bersekolah di SD Muhammadiyah, Belitong Timur, Bangka Belitung.

Menurut Pegawai Telkom yang tinggal di Bandung ini, menulis merupakan dunia baru bagi. Karena itulah ia tak menyangka novel Laskar Pelangi yang ditulisnya dalam waktu 3 minggu, disukai banyak orang dan menjadi “best seller”. “Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis Laskar Pelangi, namun tidak pernah terwujud. Saat ada tsunami di Aceh dan saya berangkat kesana sebagai relawan, hati saya menangis melihat banyak sekolah yang hancur. Saya jadi teringat perjuangan bapak ibu guru saya. Begitu pulang, saya mulai menulis novel itu”.
Mengaku tidak memiliki latar belakang sastra, namun Andrea terbiasa mendengarkan cerita sejarah dan cerita klasik Melayu Belitung, dari para orang-orang tua di kampungnya. Sehingga tak heran, dalam menulis Laskar Pelangi, Andrea memiliki gaya penuturan yang kuat, filmis dan cerdas.

“Saat menulis yang terpatri diotak saya adalah mengeluarkan semua yang ada dalam pikiran. Sebagai tempat curahan hati, saya pun menulis. Ternyata menulis itu mengasyikan dan membuat kita lupa waktu. Akhirnya, seperti sudah menjadi ritual, seusai pulang kantor, saya langsung menulis. Saat menulis saya tak mau tahu apakah tulisan saya itu bagus atau jelek, apakah tulisan saya itu sesuai dengan komposisi, yang penting adalah tulis, tulis dan tulis !,” papar pria yang murah senyum ini.

Ditengah euforia novel bertema chiklit, teenlit, dan metropop, kehadiran Andrea Hirata bagaikan oase ditanah kering. Novel-novel Andrea sangat inspiratif dan mampu memberi kekuatan. Bahkan novel anak kelima dari pasangan Seman Said Harun Hirata dan Masturah ini, mampu menggerakkan hati para pakar pendidikan untuk memperbaiki sistem pendidikan. Dan kabarnya, SD Muhammadiyah, tempat Andrea bersekolah dulu, menjadi terkenal di Belitong dan mendapat perhatian dari pemda setempat.

“Novel yang saya tulis merupakan memoar tentang masa kecil saya, yang membentuk saya hingga menjadi seperti sekarang. Karena itu, saya sangat berterima kasih dapat bersekolah di sekolah miskin dan memperoleh persahabatan yang indah dari teman-teman saya. Tak lupa, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua guru saya, yang tak pernah mengharapkan rasa terima kasih kecuali melihat siswanya menjadi orang yang berberhasil”, jelas Andrea yang memberikan royalti novelnya kepada perpustakaan sekolah miskin. (*)

>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

email