Selasa, 01 Desember 2009

MA Larang Ujian Nasional 2010

Mahkamah Agung Larang Ujian Nasional (UN) 2010

2009 November 25
by nusantaraku
Logo MA

Mahkamah Agung (MA) melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN). MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya pemerintah ilegal melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.

Berdasarkan informasi perkara di situs resmi MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputus pada 14 September 2009 lalu oleh majelis hakim yang terdiri atas Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said.

Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).

-Mahkamah Agung-

Ini berarti putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih melaksanakan UN pada tahun 2008 dan 2009. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009 yang ‘memaksa’ kelulusan siswa ditentukan beberapa hari merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Presiden SBY, Wakil Presiden JK, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang S, dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.

Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, terutama sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN. Pemerintah diminta pula untuk segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN.

Amunisi Terakhir Pemerintah, Peninjauan Kembali (PK)

logo depdiknas

Meski MA melalui putusan perkara dan kasasi bahwa pemerintah dilarang melaksanakan UN sebagai standar baku kelulusan siwa. Namun, pemerintah masih bersikeras agar UN tetap dilaksanakan. Untuk melegalkan misi itu, pemerintah SBY melalui menteri Menteri Pendidikan Nasional dan BSNP akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan agar Ujian Nasional (UN) dilarang. Inilah satu-satunya amunisi yang tersisa bagi pemerintah untuk melegalkan pelaksanaan UN.

Bila PK ini dimenangkan oleh pemerintah SBY, maka UN 2010 akan legal dilaksanakan. Namun, jika PK ini ditolak, maka secara yuridis pemerintah dilarang melaksanakan UN 2010. Ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah terutama Mendiknas. Pelaksanaan UN tanpa dasar hukum berpoteni menjadi tindakan kriminal kepada negara karena telah ‘menghabiskan anggaran negara untuk kegiatan berlawanan hukum”.

Anggaran UN yang Mahal vs Paradigma Pendidikan

Pada tahun 2009, pemerintah menghabiskan 572 miliar rupiah (setengah triliun) untuk pelaksanaan ujian nasional. Namun sayangnya, anggaran negara yang besar yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN 2009 masih sarat dengan praktik ketidakjujuran.

Banyak sekolah membocorkan ataupun memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswinya ketika UN. Para pengawas [termasuk pengamat independen] lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi. Hal ini bahkan terjadi secara bsistematik yang mana kepala dinas pendidikan di beberapa daerah tertentu ikut ‘menfasilitasi’ kecurangan UN di wilayahnya.

Dan yang paling parah adalah terjadinya ‘mafia kunci UN’. Pada subuh hari, oknum diknas bekerja sama dengan mafia untuk mendapatkan sosial UN sekaligus pada pagi-paginya akan memberikan kunci jawaban kepada ‘pemesan’, baik siswa, orang tua siswa, maupun pihak sekolah.

Ketidaksiapan penyelenggaraan UN yang bersih dan jujur, membuat dunia pendidikan menjadi tercoreng. Pendidikan yang bertujuan untuk mendidik ilmu pengetahuan dan moralitas siswa didik pada akhirnya mendidik ketidakjujuran siswa itu sendiri. Disisi lain yang lebih mendasar, pelaksanaan UN tanpa persiapan yang memadai secara langsung mendidik sikap mental siswa untuk mencapai sesuatu secara instan. Sehingga baik siswa maupun tenaga pendidik cenderung terbentuk watak ‘manusia instan’.

Selain itu, telah terjadi pergeseran paradigma para pendidik. Banyak tenaga pendidik di sekolah-sekolah merasa bahwa mereka mendidik siswa-siswi hanya untuk meluluskan siswanya dari UN. Proses panjang dalam belajar-mengajar selama 3 atau 6 tahun, hanya ditentukan 3-5 hari Ujian. Hal ini semakin jauh dari esensi pendidikan yakni mendidik. Sekolah dan tenaga pendidik semulanya berperan besar pada mendidik siswa dalam pengetahuan, etika dan moral, kini cenderung mengajar bagaimana lulus UN. Hal ini pun dimanfaatkan bermacam-macam lembaga pendidikan, baik diluar sekolah maupun di internal sekolah [menjadi alasan sekolah menarik iuran dari orang tua].

Best Solution

Selama masih terjadi ketimpangan pemerataan kualitas sekolah di berbagai daerah, maka UN tidak cocok digunakan untuk menentu kelulusan siswa. Kelulusan siswa hanya dengan melihat nilai UN sungguhlah tidak fair. Lulus atau tidaknya seseorang dalam suatu sistem pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ‘otak’, namun juga harus memperhatikan ‘hati’ atau etika. Oleh karena itu, maka lebih baik fungsi UN dikembalikan seperti fungsi Ebtanas (Evaluasi Tahap Akhir Nasional) yang di-upgrade.

Dalam hal ini, pemerintah dapat tetap melaksanakan UN dengan tujuan:

  • Standar untuk mengukur kualitas sekolah di Indonesia.
    Dari hasil UN, maka diknas harus menindaklanjuti sekolah-sekolah yang masih jauh dibawah rata-rata nasional. Apakah guru, sarana-prasarana atau siswanya atau ketiganya yang membuat siswa mampu atau tidak dalam mengerjakan soal ujian nasional? Kelulusan siswa ditentukan oleh guru/sekolah dengan memasukkan faktor prestasi selama 3 tahun + etika/moralitas+hasil ujian nasional.
  • Standar untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih lanjut.
    Nilai UN/UAN/Ebtanas dijadikan standar untuk masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya. Nilai UASBN SD sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMP. Nilai UN SMP sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMA. Dan nilai UN SMA digunakan sebagai standar seleksi masuk PT.
    Nilai UN hanya dapat dijadikan sebagai standar masuk ke jenjang lebih lanjut dengan syarat pelaksanaan UN tersebut harus jujur, transparan dan kredibel. Beberapa sistem dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi dapat diterapkan di UN.
  • Standar untuk masuk kerja, beasiswa dll
    Apabila pelaksanaan UN dapat berjalan secara jujur dan kredibel, maka nilai UN menjadi tolak ukur penerimaan tenaga kerja atau beasiswa.

Apabila paradigma UN diubah seperti diuraikan diatas, maka UN dapat menjadi ajang untuk menguji kemampuan kita secara nasional. Nilai UN yang tinggi akan mempermudah kita melanjutkan studi ke sekolah yang lebih baik. Dan apabila peserta UN mendapat nilai yang jelek, maka tentunya mereka akan kesulitan mendapat sekolah yang baik. Namun, baik yang mendapat nilai UN yang tinggi maupun rendah, keputusan lulus haruslah kembali pada sang guru.

sumber : http://nusantaranews.wordpress.com>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

email